Kamis, 05 Juni 2008

Senja di Langit Pasuruan

Oleh De Zha Voe

Surapati memandang takjub pada sosok pemuda di depannya. Wajahnya nyaris sama dengan salah satu putranya, Raden Pengantin. Hanya rambutnya saja yang kemerah-merahan serupa dengan rambut orang-orang Belanda. Pemuda itu ditangkap oleh anak-anak Surapati, karena tak sudi menyerahkan pistol miliknya. Lalu terjadilah pergumulan, dan pistol itu meletus, merobek kulit lengat Raden Pengantin.
“Siapa dirimu sesungguhnya?”
“Saya hanya seorang pedagan yang hendak mencari peruntungan di tempat ini.”
 “Dari mana asalmu?”
 “Dari Batavia.”
 “Kau seorang Belanda?”
 “Ibuku seorang Belanda.”
Surapati terkesiap. Tiba-tiba saja, wajah Suzanne mengelebat. Ia berjalan limbung. Kakinya gemetar. Pita memori di kepalanya merewind gambar-gambar masa lalu, ketika dirinya hanya seorang budak bernama Untung yang bekerja pada keluarga Belanda, keluarga Suzanne.
***
Gadis itu duduk di tepi kolam. Memandangi bayangannya sendiri. Masih membekas laut yang tiba-tiba membadai, dan ombak menghempas keras perahu yang ditumpanginya dengan Untung. Dan karena peristiwa itu, hampir saja Untung diusir oleh ayahnya. Hanya karena ia dapat meyakinkan ayahnya, Untung tak jadi diusirnya. Semua memang karena kesalahku, gumamnya.
Sepanjang perjalanan pulang kemarin, Suzanne tak henti-hentinya memandangi wajah Untung. Ada yang diam-diam menelusup ke dalam hatinya. Namun, ia berusaha memupus perasaan itu. Suzanne gadis Belanda, sedang Untung tak jelas benar asal usulnya. Ada yang bilang dia dari Makssar, tetapi Untung sendiri menyebut dirinya sebagai orang Bali. Meski Untung hanya seorang budak, tetapi lakunya tak menunjukkan hal itu. Mungkinkah Untung menjadi orang Belanda?
 “Nona Suzanne,” sapa seseorang dari balik punggungnya. Suzanne menoleh. Untung telah berdiri di  hadapannya, dengan setangkai bunga teratai di tangannya.
“Maafkan aku atas peristiwa kemarin….”
“Nona tiada bersalah,” Untung memberikan bunga itu kepa Suzanne. “Ada yang ingin aku utarakan kepadamu.”
Kening Suzanne mengerut. Wajah Untung tak seperti biasanya. Agak canggung. Diam-diam dia tersenyum, menikmati laku serupa itu.
“Apa yang ingin kau katakan, Untung?”
“Aku mencintaimu,” ucapnya lirih, “dan aku juga tahu kalau kau juga telah menaruh hati kepadaku. Maukah kau menikah denganku?”
Suzanne sedikit terkejut dengan pengakuan Untung itu. Meski begitu, hatinya bersorak. Namun, sesaat kemudian wajahnya tertuduk.
“Ada apa? Mengapa kau jadi murung? Apakah kau tak mencintaiku?” tanya Untung mengambil tempat di sisi Suzanne, berjarak dua langkah kaki orang dewasa.
“Kalau kita menikah, bangaimana dengan keluargaku? Mereka pasti tidak bisa menerima. Apalagi, Ayah telah menjodohkan aku dengan Herman de Wilde….”
Untung tertunduk. Namun ujung matanya menyimpan geram. Kedua telapak tangannya mengepal.
“Ya, aku tahu,” ucapnya tegas, “aku hanya seorang budak belian, dan kau nona Belanda. Semestinyalah aku tahu diri. Derajatku tak cukup pantas untuk meminangmu.”
“Bukan begitu, Tung… a-aku…” Begitu banyak orang Belanda yang menikah dengan pribumi. Dan anak-anak dari hasil pernikahan itu pun telah juga dianggap seorang Belanda. Untung sejak kecil telah didik dengan cara Belanda. Bukan hal yang sulit baginya mengikuti cara hidup orang Belanda, begitu pikiran yang mengelebat di kepala Suzanne.
“Bagaiman, Suz? Bagiku, tak ada jalan kembali. Aku bosan menjadi seorang budak. Aku ingin menjadi manusia bebas. Namun, apabila kau mau menerimaku, jalan kita memang tiada akan mudah. Sekali lagi aku bertanya kepadamu, maukah kau menikah denganku?”
Suzanne mengangguk. Hatinya telah pasti. Dia yakin sekali akan mungkin membawa Untung ke dalam lingkungan Belanda. Namun ada satu masalah lagi. Untung beragama Islam, sedang Suzanne pemeluk Nasrani.
“Di mana kita akan menikah?” tanya Suzanne, “Menikah di gereja jelas tidak mungkin, kecuali ayahku merestui.”
“Sudah semestinya seorang istri mengikuti agama suaminya,” ujar Untung, “kita akan menikah dengan cara Islam.”
“Baiklah,” ucap Suzanne, “Untuk sementara waktu tak mengapa.”
 “Tidak!” tegas Untung, “Bukan untuk sementara waktu, tapi untuk selamanya. Bagaimana, Suz? Apakah kauragu?”
“Tidak! Aku tak akan mundur.”
Begitulah. Suzanne dan Untung menikah. Hari demi hari mengalir seperti biasa. Mereka hampir saja berhasil merahasiakan pernikahan mereka dari Edeleer Moor, ayah Suzanne. Sampai Suzanne mulai merasakan mual-mual. Ya, Suzanne mengandung benih Untung. Bagaimanakah sebuah kehamilan mungkin untuk disembunyikan?
“Apa?! Kau hamil?!” mata Edeleer Moor seolah hendak keluar dari ceruknya mendengar pengakuan Suzanne.
“Ya, Papa,” jawan Suzanne sambil terisak, “Aku dan Untung telah menikah beberapa bulan lalu.”
“Kurang ajar! Tak tahu berterima kasih! Sudah aku angkat sebagai anak, masih berani berbuat kurang ajar terhadapku! Dasar budak tak tahu diuntung!”
Edeleer Moor menjadi murka. Dia memerintahkan bawahannya untuk mengasingkan Suzanne, dan menugaskan Herman de Wilde untuk menangkap Untung beserta Kiai Ebun.
***
Tentara Kompeni menangkap aku beserta Untung. Kami dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melecehkan nona Belanda. Aku tahu benar, betapa di dalam hatinya, Untung ingin sekali melawan. Namun, belum saatnya. Aku tahu, pada saatnya nanti, Untung akan menjadi seorang yang menggoncangkan Pulau Jawa. Entahlah, aku memiliki firasat itu. Firasat yang sama kurasakan ketika di dalam penjara aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Wirayuda. Aku melihat api di matanya. Berkobar. Pada mata Wirayuda dan Untung aku menemukan masa depan. Aku tidak sedang meramal. Hanya membaca pertanda yang ada di raut kedua pemuda itu.
“Selamat datang, saudara!” sapa Wirayuda seraya menjulurkan tangannya kepada Untung. “Saya Wirayuda. Siapa nama Saudara?”
Untung menyambut uluran tangan Wirayuda, “Untung namaku, ini Kiai Ebun, ayah angkatku.”
Begitulah perkenalan mereka. Kelak, keduanya akan menjadi sosok yang sangat dicari-cari Kompeni. Dari penjara inilah sejarah akan mulai dicatatkan.
Di salah satu sudut penjara itu, ada seorang bertubuh gemuk. Nampaknya dia begitu disegani di dalam penjara ini. Lakunya serupa raja, serba minta dilayani. Hanya kepada Wirayuda, sepertinya lelaki itu agak segan. Para tahanan, bergantian memijat tubuhnya yang gempal. Dia hanya memandang sinis kedatangan aku dan Untung.
Sampai ketika sipir penjara datang membawa jatah makanan. Aku mengambilkan jatah makanan untuk Untung. Belum sempat aku menyerahkannya kepada Untung,
lelaki yang belakangan kutahu bernama Entong Gendut itu segera berdiri. Dia menghampiri kami. Lalu merebut piring makanan di tanganku.
“Di tempat ini, hanya aku yang boleh dilayani!”
“Maaf, aku tak ingin mencari keributan di tempat ini.”
Wajah Entong Gendut semakin keruh mendengar ucapanku. Ia kemudian melayangkan telapak tangannya yang besar ke mukaku. Wajahku sampai terlempar.
Untung langsung berdiri. Nampak sekali dia berusaha meredam emosi. Wirayuda juga ikut berdiri. Aku tahu, sebentar lagi perkelahian akan terjadi. Meski Untung berusaha tetap dingin, tetapi aku bisa merasakan api yang sedang berkobaran di dalam dadanya.
Keduanya telah berdiri berhadap-hadapan. Mata beradu mata. Saling mengirimkan api. Sesaat kemudian, Entong Gendut melayangkan kepalannya ke wajah Untung. Dengan cekatan, Untung berkelit ke sisi kirinya sambil mengirimkan pukulan ke rahang kanan Entong Gendut. Lelaki tambun itu goyah. Tubuh besarnya menggelosor ke lantai. Untung yang telah gelap mata, menindih tubuhnya, lalu mencekik lehernya sambil menghantapkan pukulannya bertubi-tubi ke wajah Entong Gendut.
“Sudah, Anakku,” leraiku, “Sudah! Bisa mati orang itu!”
Entong Gendut tergeletak di lantai penjara bersimbah darah. Tak jelas benar apakah dia masih bernapas, atau sudah mati ketika sipir penjara menyeretnya keluar dari dalam penjara. Pada saat itulah, Wirayuda merebut senjata di tangan sipir penjara itu. Dan menghunuskan senjata itu ke dadanya. Seketika tubuh tentara Kompeni itu menggelepar.
Demikianlah. Aku tak hendak menuliskan lebih banyak kekerasan di sini. Sehingga tak perlu aku ceritakan bagaiman para tahanan di bawah pimpinan Untung berhasil merebut senjata tentara-tentara Kompeni, dan meninggalkan tubuh-tubuh tak bernyawa itu tergeletak bergelimpangan di sana.
Untung menoleh ke belakang, ia menyaksikan betapa harga sebuah kebebasan begitu mahalnya. Beberapa temannya sesama tahanan tak sempat menikmati kebebasan itu karena turut menjadi bagian dari jasad-jasad yang telah kehilangan arwahnya. Namun, sejak hari itu, Untung tak pernah lagi menoleh ke belakang. Sampai ia bertemu dengan pemuda itu. Wajah pemuda itu hampir sulit dibedakan dengan putranya, Raden Pengantin. Sedang wajah Raden Pengantinlah yang paling mirip dengan wajahnya ketika muda. Ia berdiri pada sebuah persimpangan. Seperti ketika dia harus memilih antara mencari Suzanne dan anaknya di Batavia, atau menikah dengan Raden Gusik yang diam-diam menaruh hati kepadanya. Demikianlah sebuah perjalanan akan selalu mempertemukan kita dengan persimpangan-persimpangan. Dan setiap pilihan akan menjadi takdir yang harus kita tanggung konsekuensinya.
***
Pemuda itu menyerahkan sebuah liontin kepada Surapati. Di dalam liontin itu terdapat foto dan secarik kertas bertuliskan wasiat dari ibu kepada anaknya, Robert. Surapati memandang tiada berkedip foto di tangannya itu. Dia mengenal betul gadis di dalam foto itu. Suzanne...
“Robert...” gumam Surapati, ia kemudian mengangkat wajahnya memandang pemuda di hadapannya. Pemuda yang tiada lain adalah anaknya sendiri. “Kau anakku...”
Kening Robert mengerut. Wajahnya tak percaya. Sudah lama dia mencari-cari lelaki yang telah menyebabkan ibunya menderita, sebelum menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan pulang ke negeri Belanda. Mayat Suzanne dilarung di tengah laut.
Surapati merentangkan kedua tangannya. Dia bermaksud melabuhkan putra yang selama ini dirinduinya ke dadanya. Namun, Robert menepisnya. Dendam telah kesumat di dadanya.
Mereka berada di jalan yang saling berseberangan.
Ah, apalah dayaku.... aku hanya orangtua yang tak lagi memiliki banyak kebijaksanaan untuk menyatukan keduanya. Aku hanya bisa menuliskannya saja. Dan semoga ada yang sudi membacanya. Karena bisa jadi, inilah risalah terakhir yang mungkin untuk kutulis. Tentara-tentara kompeni dan prajurit-prajurit dari kerajaan yang bersekutu dengan Belanda telah bersiap di garis depan untuk menggempur kerajaan Surapati.
Hari itu aku menyaksikan bagaimana sebuah sejarah dituliskan. Hari itu aku mengendus amis darah. Dan maut meruangi diriku.
Dan senja di langit Pasuruan kian memerah.

Depok, 13/04/08

Dimuat di majalah Annida dalam rubrik “Epik” tahun 2008 (nomornya lupa)

Senin, 04 Juni 2007

Love Messages #1

Oleh De Zha Voe

2 3 4 5 6 7 8 9 10



Bruk!
Ups! Argi meringis. Dia tidak sengaja menabrak... Delon! Bukan ding... hanya mirip saja dengan runner up Indonesian Idol pertama itu. Sampai-sampai ia menumpahkan air mineral merek Aquya ke baju cowok tinggi berkulit putih itu
“S-sori... sori?”        
Cowok itu mengibas-ngibas pakaiannya yang basah.
Uh, ganteng banget! Sesaat Argi terpaku, memandangi paras tampan di depannya, sebelum dia tersadar dan mengeluarkan handuk kecil dari dalam tasnya. “Gue elapin ya?”
“Udah gak pa-pa kok,” cowok itu tersenyum.
“Duh, gue jadi gak enak nih...”
“Kalo gak enak kasih kucing aja,” seloroh cowok yang bagai pinang dibelah kampak dengan artis pujaan yang namanya dia abadikan untuk ayam jago piaraannya itu.
Argi tertawa mendengar perkataan Delon... eh, maksudnya cowok yang ditabraknya itu.
“Eh, elo liat Arga gak?”
“Arga? Makhluk dari mana, tuh?”
“Haha... lo bisa aja. Yang dari majalah SUKA.”
“Yang rambutnya gondrong itu, ya?”
“Iya, betul. Pokoknya yang ancur banget deh orangnya!”
Cowok itu tersenyum. “Tadi gue liat dia di dekat panggung utama.”
“Oh, makasih, ya!” ucap Argi.
“Kalo elo perlu apa-apa ngomong sama panitia aja, ya.”
“Elo...”
“Gue Dava,” katanya memperkenalkan diri, “ketua OSIS SMU Cakra.”
“Oke deh, Dav! Gue Argi. Argi Dahlia lengkapnya.”
Lagi-lagi cowok berparas serupa Delon itu melempar senyum ke arah Argi, sebelum ia melangkah meninggalkannya sendiri dalam keterpakuan.
Duh, senyumnya... bisik hati Argi. Terpesona. Sebelum kembali celingukan mencari-cari Arga. Ke mana sih anak gokil itu?
***
“Argi sialaaaaaaan...!!!”  jerit Arga begitu membuka mata dan menemukan jarum jam telah menyentuh angka 7:15 WIB. Perjalanan ke sekolah membutuhkan waktu setidaknya setengah jam. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Terlambat!
Hari ini ada ulangan fisika. Semalaman Arga menekuni rumus-rumus dalam buku pelajaran. Sudah dua kali dia dapat lima. Sampai azan Subuh menggema, Arga baru merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya yang letih. Lumayan, biar cuma satu jam...
Di dalam kelasnya, Argi tersenyum-senyum sendiri membayangkan saudara kembarnya yang ketika dia meninggalkan rumah tadi belum juga membuka matanya. Sebelum Arga tidur, sebenarnya dia sempat mengirimkan pesan ke ponsel Argi, karena pintu kamar anak itu sudah dikunci, waktu dia mau minta dibangunkan. Makanya dia mengirimkan SMS kepada Argi meski kamar mereka bersebelahan. Begini bunyi SMS yang Arga kirimkan sebelum matanya terpejam Subuh tadi:

TLG BANGUNIN GW 1/2 6 TEPAT! :-)
Sent to: Argi 081802901697

Dan cara itu pula yang dipakai oleh Argi untuk membangunkan Arga, sebelum dia pergi meninggalkan rumah pagi tadi. Ia me-reply SMS Arga.

ARGA BANGUN! UDH 1/2 6 LWT DIKIT! ;-p
Sent to: Arga 081802901679

Padahal pintu kamar Arga gak terkunci!
Suara bel berbunyi. Pak Saragih masuk ke dalam kelas membagi-bagikan kertas ulangan fisika.
Wajah Arga menyembul dari balik pintu. Napasnya tersengal, seperti habis maraton 10 km. Argi cekikikan melihat tampang kucel saudara kembarnya.
“Permisi, Pak...”
“Silakan masuk!” Suara Pak Saragi serak-serak becek.
Arga melongo. Tumben amat, pikirnya. Biasanya Pak Saragih akan mengatakan, “Silakan keluar!” kepada siapa pun siswa yang datang terlambat saat jam pelajarannya. Gak peduli walau keterlambatannya hanya terjadi 1 menit saja sebelum guru killer itu masuk ke kelas.
“Makasih, Pak.” Arga mengumbar senyum. Sok ramah. Melangkahkan kaki ke kursinya di sebelah Argi.
“Bah,” ucap Pak Saragih, “siapa pula yang suruh kau duduk?!”
“Lho,” Arga bingung, “bukannya tadi Bapak bilang...”
“Aku bilang masuk, bukan duduk! Kuping kau perlu dikorek sama pacul, rupanya!”
Kelas bergemuruh tawa.
“Diam!” bentak lelaki kelahiran Medan itu. Kelas kembali hening.
Tinggal Arga yang berdiri dengan lutut gemetar.
“Kemari kau!”
Arga menyeret langkah, datang mendekat pada Pak Saragih.
“Kenapa kau datang terlambat?”
“A-anu... pak...”
“Macet?” serobot Pak Saragih sebelum Arga sempat menyelesaikan kalimatnya, “Bah! Tiap hari kota Depok selalu macet!”
“Lho, saya kan gak bilang macet, Pak?”
“Kalau bukan macet, apalagi alasan kau?”
“Semalam saya belajar sampai Subuh untuk menghadapi ulangan fisika ini. Jadi... saya bangun kesiangan gara-gara Argi gak mau bangunin saya, Pak.”
“Enak aja!” protes Argi dari bangkunya, “gue kan udh kirim SMS buat ngebangunin elo! Elo juga minta banguninnya lewat SMS.”
“Soalnya waktu gue mau nitip pesen langsung, pintu kamar lo dikunci. Lha, kalo pintu kamar gue kan ngablak, kagak dikunci! Kenapa juga elo bangunin gue lewat SMS?!”
“Kok elo nyalahin gue? Yang suruh elo begadang sampe Subuh siapa?”
“Diaaaammmm! Siapa suruh kalian bertengkar?!”
Kedua saudara kembar itu bungkam.
Argi kembali menekuni kertas ulangannya.
“Ya, sudah,” kata Pak Saragih kemudian, “ini,” menyerahkan kertas soal kepada Arga.
Arga mengambil kertas soal dari tangan Pak Saragih, dan kembali melangkahkan kaki ke kursinya di sebelah Argi.
“Eit,” suara Pak Saragih menghentikan langkah Arga.
“Apalagi, Pak?”
“Siapa yang suruh kau duduk?”
“Habis, saya harus ngerjain soal di mana dong, Pak?”
“Situ,” telunjuk Pak Saragih mengarah ke depan papan tulis.
“Hah? Di depan kelas?”
“Iya. Kenapa? Keberatan?”
Arga menunduk kesal. Dia mengambil kursinya dan menyeretnya ke depan kelas.
“Bah, siapa suruh kau bawa-bawa kursi ke depan kelas?”
“Tadi bapak bilang, saya harus mengerjakan soal ulangan di depan kelas?”
“Betul itu. Tapi Bapak tidak bilang kau boleh bawa-bawa kursi ke depan kelas.”
“Jadi?”
“Berdiri!”
“Tapi, Pak...”
“Apa? Keberatan kau?”
Arga menggelengkan kepala.
Di bangkunya Argi cekikikan.
“Huh!” Arga merengus.
Seisi kelas mengulum senyum, menahan tawa melihat tampang kucel Arga.
Menit-menit berlalu tanpa bisa dicegah. Arga baru berhasil mengerjakan beberapa soal saja. Berulang kali dia berusaha menoleh ke arah Argi. Tapi bukannya membantu, saudara kembarnya itu malah menjulurkan lidah meledeknya. Arga keki. Diambilnya spidol di dekat papan tulis, dilemparnya ke arah Argi.
“Aduh!” Argi meringis memegangi kepalanya yang terkena lemparan spidol Arga. Pak Saragih melihat kejadian itu.
“Bah! Bukannya mengerjakan soal, malah bercanda-canda dengan saudara kembar kau! Sudah selesai?!”
“B-belum, Pak...”
Pak Saragih yang selalu memakai baju safari itu geleng-geleng kepala melihat tingkah Arga dan Argi yang mirip anjing sama kucing. Heran, kok bisa ya, mereka berbagi tempat duduk?
Hmm... biar begitu-gitu, kalo sudah urusan ngisengin orang, mereka kompakan banget! Hampir semua penghuni kelasnya—termasuk cicak, nyamuk dan kecoa—pernah menjadi korban keisengan mereka.
Si Toing misalnya. Pemuda kurus yang saban ke sekolah mengendarai vespa merah, warisan engkongnya yang meninggal dunia karena serangan jantung akibat terkejut mendengar suara letusan dari knalpot vespa miliknya waktu dia mau berangkat kerja, pernah dibuat kalang kabut ketika hendak pulang sekolah, mendapati vespa kesayangannya tak berknalpot! Baru keesokan paginya, dia menemukan knalpot vespanya tergantung di tiang bendera sekolahan! Mau tau kerjaan siapa?
“Kembaaaarrrrr siaaaallllaaaannnn...!!!”
Arga dan Argi segera angkat kaki, melarikan diri, begitu melihat Toing berlari-lari ke arah mereka seraya mengacung-acungkan knalpot vespanya ke udara.
“Cabuuuttttttt...!!!”
Suara bel tanda usai pelajaran fisika mengudara. Masih ada dua soal yang belum terisi di lembar jawabannya. Arga mengumpulkan lembar jawabannya di meja Pak Saragih. Wajahnya tak bergairah. Percuma dia begadang semalaman. Semua yang telah dia save di memori otaknya gak mau diopen, ngehang!
“Udah boleh duduk, Pak?”
Pak Saragih tersenyum puas menyaksikan dengkul Arga yang gemetaran karena terlalu lelah berdiri sepanjang jam pelajarannya berlangsung.
“Besok-besok, kalau kau terlambat lagi, kusuruh kau berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah, mau?”
“Wah, gak janji deh, Pak!”
Arga melangkah gontai ke tempat duduknya.

***