Oleh De Zha Voe
Surapati memandang takjub pada sosok
pemuda di depannya. Wajahnya nyaris sama dengan salah satu putranya, Raden
Pengantin. Hanya rambutnya saja yang kemerah-merahan serupa dengan rambut
orang-orang Belanda. Pemuda itu ditangkap oleh anak-anak Surapati, karena tak
sudi menyerahkan pistol miliknya. Lalu terjadilah pergumulan, dan pistol itu
meletus, merobek kulit lengat Raden Pengantin.
“Siapa dirimu sesungguhnya?”
“Saya hanya seorang pedagan yang hendak
mencari peruntungan di tempat ini.”
“Dari mana asalmu?”
“Dari Batavia.”
“Kau seorang Belanda?”
“Ibuku seorang Belanda.”
Surapati terkesiap. Tiba-tiba saja, wajah
Suzanne mengelebat. Ia berjalan limbung. Kakinya gemetar. Pita memori di
kepalanya merewind
gambar-gambar masa lalu, ketika dirinya hanya seorang budak bernama Untung yang
bekerja pada keluarga Belanda, keluarga Suzanne.
***
Gadis itu duduk di tepi kolam. Memandangi
bayangannya sendiri. Masih membekas laut yang tiba-tiba membadai, dan ombak
menghempas keras perahu yang ditumpanginya dengan Untung. Dan karena peristiwa
itu, hampir saja Untung diusir oleh ayahnya. Hanya karena ia dapat meyakinkan
ayahnya, Untung tak jadi diusirnya. Semua
memang karena kesalahku, gumamnya.
Sepanjang perjalanan pulang kemarin,
Suzanne tak henti-hentinya memandangi wajah Untung. Ada yang diam-diam
menelusup ke dalam hatinya. Namun, ia berusaha memupus perasaan itu. Suzanne
gadis Belanda, sedang Untung tak jelas benar asal usulnya. Ada yang bilang dia
dari Makssar, tetapi Untung sendiri menyebut dirinya sebagai orang Bali. Meski
Untung hanya seorang budak, tetapi lakunya tak menunjukkan hal itu. Mungkinkah
Untung menjadi orang Belanda?
“Nona Suzanne,” sapa seseorang dari balik
punggungnya. Suzanne menoleh. Untung telah berdiri di hadapannya, dengan
setangkai bunga teratai di tangannya.
“Maafkan aku atas peristiwa kemarin….”
“Nona tiada bersalah,” Untung memberikan
bunga itu kepa Suzanne. “Ada yang ingin aku utarakan kepadamu.”
Kening Suzanne mengerut. Wajah Untung tak
seperti biasanya. Agak canggung. Diam-diam dia tersenyum, menikmati laku serupa
itu.
“Apa yang ingin kau katakan, Untung?”
“Aku mencintaimu,” ucapnya lirih, “dan
aku juga tahu kalau kau juga telah menaruh hati kepadaku. Maukah kau menikah
denganku?”
Suzanne sedikit terkejut dengan pengakuan
Untung itu. Meski begitu, hatinya bersorak. Namun, sesaat kemudian wajahnya
tertuduk.
“Ada apa? Mengapa kau jadi murung? Apakah
kau tak mencintaiku?” tanya Untung mengambil tempat di sisi Suzanne, berjarak
dua langkah kaki orang dewasa.
“Kalau kita menikah, bangaimana dengan
keluargaku? Mereka pasti tidak bisa menerima. Apalagi, Ayah telah menjodohkan
aku dengan Herman de Wilde….”
Untung tertunduk. Namun ujung matanya
menyimpan geram. Kedua telapak tangannya mengepal.
“Ya, aku tahu,” ucapnya tegas, “aku hanya
seorang budak belian, dan kau nona Belanda. Semestinyalah aku tahu diri.
Derajatku tak cukup pantas untuk meminangmu.”
“Bukan begitu, Tung… a-aku…” Begitu
banyak orang Belanda yang menikah dengan pribumi. Dan anak-anak dari hasil
pernikahan itu pun telah juga dianggap seorang Belanda. Untung sejak kecil
telah didik dengan cara Belanda. Bukan hal yang sulit baginya mengikuti cara
hidup orang Belanda, begitu pikiran yang mengelebat di kepala Suzanne.
“Bagaiman, Suz? Bagiku, tak ada jalan
kembali. Aku bosan menjadi seorang budak. Aku ingin menjadi manusia bebas.
Namun, apabila kau mau menerimaku, jalan kita memang tiada akan mudah. Sekali
lagi aku bertanya kepadamu, maukah kau menikah denganku?”
Suzanne mengangguk. Hatinya telah pasti. Dia
yakin sekali akan mungkin membawa Untung ke dalam lingkungan Belanda. Namun ada
satu masalah lagi. Untung beragama Islam, sedang Suzanne pemeluk Nasrani.
“Di mana kita akan menikah?” tanya
Suzanne, “Menikah di gereja jelas tidak mungkin, kecuali ayahku merestui.”
“Sudah semestinya seorang istri mengikuti
agama suaminya,” ujar Untung, “kita akan menikah dengan cara Islam.”
“Baiklah,” ucap Suzanne, “Untuk sementara
waktu tak mengapa.”
“Tidak!” tegas Untung, “Bukan untuk sementara
waktu, tapi untuk selamanya. Bagaimana, Suz? Apakah kauragu?”
“Tidak! Aku tak akan mundur.”
Begitulah. Suzanne dan Untung menikah.
Hari demi hari mengalir seperti biasa. Mereka hampir saja berhasil merahasiakan
pernikahan mereka dari Edeleer
Moor, ayah Suzanne. Sampai Suzanne mulai merasakan mual-mual. Ya, Suzanne
mengandung benih Untung. Bagaimanakah sebuah kehamilan mungkin untuk
disembunyikan?
“Apa?! Kau hamil?!” mata Edeleer Moor seolah hendak
keluar dari ceruknya mendengar pengakuan Suzanne.
“Ya, Papa,” jawan Suzanne sambil terisak,
“Aku dan Untung telah menikah beberapa bulan lalu.”
“Kurang ajar! Tak tahu berterima kasih!
Sudah aku angkat sebagai anak, masih berani berbuat kurang ajar terhadapku!
Dasar budak tak tahu diuntung!”
Edeleer Moor menjadi murka. Dia memerintahkan
bawahannya untuk mengasingkan Suzanne, dan menugaskan Herman de Wilde untuk
menangkap Untung beserta Kiai Ebun.
***
Tentara Kompeni menangkap aku beserta
Untung. Kami dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melecehkan nona
Belanda. Aku tahu benar, betapa di dalam hatinya, Untung ingin sekali melawan.
Namun, belum saatnya. Aku tahu, pada saatnya nanti, Untung akan menjadi seorang
yang menggoncangkan Pulau Jawa. Entahlah, aku memiliki firasat itu. Firasat
yang sama kurasakan ketika di dalam penjara aku bertemu dengan seorang pemuda
bernama Wirayuda. Aku melihat api di matanya. Berkobar. Pada mata Wirayuda dan
Untung aku menemukan masa depan. Aku tidak sedang meramal. Hanya membaca
pertanda yang ada di raut kedua pemuda itu.
“Selamat datang, saudara!” sapa Wirayuda
seraya menjulurkan tangannya kepada Untung. “Saya Wirayuda. Siapa nama Saudara?”
Untung menyambut uluran tangan Wirayuda,
“Untung namaku, ini Kiai Ebun, ayah angkatku.”
Begitulah perkenalan mereka. Kelak,
keduanya akan menjadi sosok yang sangat dicari-cari Kompeni. Dari penjara
inilah sejarah akan mulai dicatatkan.
Di salah satu sudut penjara itu, ada
seorang bertubuh gemuk. Nampaknya dia begitu disegani di dalam penjara ini.
Lakunya serupa raja, serba minta dilayani. Hanya kepada Wirayuda, sepertinya
lelaki itu agak segan. Para tahanan, bergantian memijat tubuhnya yang gempal.
Dia hanya memandang sinis kedatangan aku dan Untung.
Sampai ketika sipir penjara datang
membawa jatah makanan. Aku mengambilkan jatah makanan untuk Untung. Belum
sempat aku menyerahkannya kepada Untung,
lelaki yang belakangan kutahu bernama
Entong Gendut itu segera berdiri. Dia menghampiri kami. Lalu merebut piring
makanan di tanganku.
“Di tempat ini, hanya aku yang boleh
dilayani!”
“Maaf, aku tak ingin mencari keributan di
tempat ini.”
Wajah Entong Gendut semakin keruh
mendengar ucapanku. Ia kemudian melayangkan telapak tangannya yang besar ke
mukaku. Wajahku sampai terlempar.
Untung langsung berdiri. Nampak sekali
dia berusaha meredam emosi. Wirayuda juga ikut berdiri. Aku tahu, sebentar lagi
perkelahian akan terjadi. Meski Untung berusaha tetap dingin, tetapi aku bisa
merasakan api yang sedang berkobaran di dalam dadanya.
Keduanya telah berdiri berhadap-hadapan.
Mata beradu mata. Saling mengirimkan api. Sesaat kemudian, Entong Gendut
melayangkan kepalannya ke wajah Untung. Dengan cekatan, Untung berkelit ke sisi
kirinya sambil mengirimkan pukulan ke rahang kanan Entong Gendut. Lelaki tambun
itu goyah. Tubuh besarnya menggelosor ke lantai. Untung yang telah gelap mata,
menindih tubuhnya, lalu mencekik lehernya sambil menghantapkan pukulannya
bertubi-tubi ke wajah Entong Gendut.
“Sudah, Anakku,” leraiku, “Sudah! Bisa
mati orang itu!”
Entong Gendut tergeletak di lantai
penjara bersimbah darah. Tak jelas benar apakah dia masih bernapas, atau sudah
mati ketika sipir penjara menyeretnya keluar dari dalam penjara. Pada saat
itulah, Wirayuda merebut senjata di tangan sipir penjara itu. Dan menghunuskan
senjata itu ke dadanya. Seketika tubuh tentara Kompeni itu menggelepar.
Demikianlah. Aku tak hendak menuliskan
lebih banyak kekerasan di sini. Sehingga tak perlu aku ceritakan bagaiman para
tahanan di bawah pimpinan Untung berhasil merebut senjata tentara-tentara
Kompeni, dan meninggalkan tubuh-tubuh tak bernyawa itu tergeletak
bergelimpangan di sana.
Untung menoleh ke belakang, ia
menyaksikan betapa harga sebuah kebebasan begitu mahalnya. Beberapa temannya
sesama tahanan tak sempat menikmati kebebasan itu karena turut menjadi bagian
dari jasad-jasad yang telah kehilangan arwahnya. Namun, sejak hari itu, Untung
tak pernah lagi menoleh ke belakang. Sampai ia bertemu dengan pemuda itu. Wajah
pemuda itu hampir sulit dibedakan dengan putranya, Raden Pengantin. Sedang wajah
Raden Pengantinlah yang paling mirip dengan wajahnya ketika muda. Ia berdiri
pada sebuah persimpangan. Seperti ketika dia harus memilih antara mencari
Suzanne dan anaknya di Batavia, atau menikah dengan Raden Gusik yang diam-diam
menaruh hati kepadanya. Demikianlah sebuah perjalanan akan selalu mempertemukan
kita dengan persimpangan-persimpangan. Dan setiap pilihan akan menjadi takdir
yang harus kita tanggung konsekuensinya.
***
Pemuda itu menyerahkan sebuah liontin
kepada Surapati. Di dalam liontin itu terdapat foto dan secarik kertas
bertuliskan wasiat dari ibu kepada anaknya, Robert. Surapati memandang tiada
berkedip foto di tangannya itu. Dia mengenal betul gadis di dalam foto itu.
Suzanne...
“Robert...” gumam Surapati, ia kemudian
mengangkat wajahnya memandang pemuda di hadapannya. Pemuda yang tiada lain
adalah anaknya sendiri. “Kau anakku...”
Kening Robert mengerut. Wajahnya tak
percaya. Sudah lama dia mencari-cari lelaki yang telah menyebabkan ibunya
menderita, sebelum menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan pulang ke
negeri Belanda. Mayat Suzanne dilarung di tengah laut.
Surapati merentangkan kedua tangannya.
Dia bermaksud melabuhkan putra yang selama ini dirinduinya ke dadanya. Namun,
Robert menepisnya. Dendam telah kesumat di dadanya.
Mereka berada di jalan yang saling
berseberangan.
Ah, apalah dayaku.... aku hanya orangtua
yang tak lagi memiliki banyak kebijaksanaan untuk menyatukan keduanya. Aku
hanya bisa menuliskannya saja. Dan semoga ada yang sudi membacanya. Karena bisa
jadi, inilah risalah terakhir yang mungkin untuk kutulis. Tentara-tentara
kompeni dan prajurit-prajurit dari kerajaan yang bersekutu dengan Belanda telah
bersiap di garis depan untuk menggempur kerajaan Surapati.
Hari itu aku menyaksikan bagaimana sebuah
sejarah dituliskan. Hari itu aku mengendus amis darah. Dan maut meruangi
diriku.
Dan senja di langit Pasuruan kian
memerah.
Depok,
13/04/08
Dimuat di majalah Annida dalam rubrik “Epik” tahun 2008 (nomornya lupa)